WAJAH LAIN PASAR KLIWONAN

“Ayo berangkat !” teriak seorang teman ke arah saya yang datang dari balik pintu. Suaranya menggema di tengah rumah dalam suasana sunyi. Ia memakai kaos berlengan pendek dan celana levis ukuran tiga perempat.  Sambil menghela nafas, ia ambil sebuah jaket serta celana panjang dari dalam lemari yang terletak di pojok kamar bagian barat. Dia menatap saya dengan pandangan penuh santai.
            “Bila berangkat ke pasar kliwonan paling enak jika semakin malam !” tegasnya.
            “mengapa, semakin banyak yang datang poh ? ” tanya saya.
            “Iya, akan ada banyak orang yang datang kesana. Memang biasanya semakin larut para pengunjungnya akan semakin bertambah” Jawabnya dengan wajah berseri-seri.
Malam  itu, waktu menunjukkan pukul 22.15 WIB. Saya berangkat menuju pasar kliwonan dari rumah temanku. Ia adalah ahmad, teman satu asrama ketika di Yogyakarta. Ahmad adalah warga asli Yogyakarta. Jarak pasar kliwonan dari rumah Ahmad menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit dengan kecepatan 20-40 KM per jam. Kecepatan yang tergolong santai karena mengingat cuaca yang begitu dingin.
Sepanjang perjalanan, saya mendapati begitu banyak kendaraan baik motor atau mobil yang menuju ke arah kidul atau pantai, persis seperti yang dikatakan Ahmad bahwa nanti akan banyak orang-orang yang berdatangan ke sana. “Biasanya, apabila ada orang yang memakai sarung kemudian laju kendaraanya menuju ke kidul, sudah dipastikan bahwa orang tersebut menuju ke pasar” Ahmad menegaskan.
Memasuki area pasar, sejumlah area parkiran sudah dipadati oleh kendaraan baik motor maupun mobil. Gang-gang kecil pun sudah ramai oleh orang-orang yang sedang berjalan kaki. Mereka ada yang sendiri, ada yang berdua dengan pasangannya, ada yang berkelompok dengan teman-temannya, bahkan ada pula yang sekeluarga.   
Pasar Kliwonan adalah pasar tradisional yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat Yogyakarta dengan mengikuti penanggalan jawa tiap malam kliwonan. Hari yang dipilih adalah malam selasa kliwon dan jum’at kliwon. Sejarah pasar kliwonan sudah ada sejak lama. Bahkan menurut penuturan teman saya Ahmad. Pasar kliwonan sudah ada sebelum dia lahir. Ahmad lahir tahun 1993, artinya pasar kliwonan sudah ada sebelum tahun tersebut.
Pasar kliwonan terletak tidak jauh dari bibir Pantai Parangkusumo, karena dapat ditempuh dengan waktu lima menit dengan berjalan kaki. Karena jaraknya dekat, disana juga banyak orang-orang yang berdatangan. Mereka mencari undur-undur, membakar dupa, tidur di atas pasir, bermain ombak, berjalan menelusuri bibir pantai bahkan ada juga yang hanya sekedar melihat pemandangan langit dan desiran ombak. Suasananya yang indah dan sejuk membuat tempat tersebut tidak kalah ramai dengan area pasar.
Bila dilihat sekilas, pasar kliwonan tidak jauh berbeda dengan pasar-pasar tradisional lainnya. Disana terdapat berbagai macam penjual-mulai dari fashion, barang-barang antik seperti keris dan batu aki, mainan, makanan tradisional seperti angkringan, wedang ronde dan rumah makan lainnya. Ada pula yang membuka jasa pengobatan, seperti bekam, pijat serta menjual obat-obat tradisonal seperti madu, obat racikan orang Dayak, obat racikan orang Papua dan lain-lain.
Hal yang membuat cara pandang saya berbeda adalah ketika memasuki area masjid Darus Salam. Masjid yang dikelilingi tembok di setiap sudutnya ini terletak di tengah-tengah pasar kliwonan. Di dalam area masjid tersebut terdapat hiburan wayang kulit yang bertempat di pendopo utara masjid. Kemudian di sebelah timur pendopo terdapat tempat yang dinamakan cepuri parangkusumo. Cepuri seperti lahan terbuka, ia tidak bertiang. Ia berbentuk persegi empat yang dikelilingi oleh tembok setinggi kurang lebih 100 meter di setiap sisinya. Di dalam cepuri seperti lahan kosong tidak ada tumbuhan sama sekali. Namun saya melihat beberapa unggukan seperti kuburan yang ditabur bunga serta dupa, kemudian disampingnya terdapat beberapa orang yang sedang berdo’a dengan dipimpin oleh seorang kuncen.
Saya berjalan mengelilingi cepuri hingga ke depan gerbangnya. Di depan pintu gerbang cepuri terdapat tiga orang kuncen yang sedang duduk di depan meja. Mereka berpakaian seperti abdi dalem Raja Kraton Yogyakarta. Mereka bertugas sebagai penerima tamu dan mengantarkan tamu ke dalam cepuri.
Saya lanjut mengelilingi area masjid. Halaman masjid dipenuhi oleh orang-orang yang berdatangan. Mereka berlalu lalang mengitari area masjid sama sepertiku. Di tengah keramaian saya melihat ada orang yang berbeda. Ia adalah perempuan yang berdiri berbaris di pinggir pinggir jalan area masjid. Mereka berpakaian serba ketat dan minimalis. Wajahnya pun dipenuhi dengan make up yang begitu mencolok. Setiap pengunjung yang lewat di depannya, mereka selalu memberikan kode, entah dengan suitan atau panggilan manja. Saya menyaksikan beberapa orang yang mendekati para perempuan tersebut, entah untuk sekedar iseng atau memang sedang negosiasi harga. Tapi untuk orang yang cuek, mereka tidak akan menghiraukan bunyi suitan atau panggilan manja perempuan-perempuan itu.
Melihat fenomena di pasar kliwonan berdasarkan observasi dalam waktu semalam membuat saya berfikir. Mengapa di sebuah pasar tradisional terdapat praktek tirakatan-praktek untuk orang -orang yang memiliki keinginan agar segera tercapai dengan meminta bantuan melalui perantara kepada kuncen. Kemudian adanya praktek prostitusi dalam bingkai tradisi. Saya ingin mengetahui lebih jauh bagaimana perspektif masyarakat terhadap praktek-praktek tersebut dan dampaknya bagi masyarakat sekitar.  
Hal ini menjadi tambahan pengalaman saya. Semoga suatu hari dapat bermanfaat.
Wallahu A’lam Bisshawaab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak